Stigma yang terus bergulung bagai bola salju, mengantarkan penyakit kusta menjadi menakutkan bagi sebagian orang yang belum mengenal. Terlebih lagi sejak dahulu yang tertanam dalam pikiran kita adalah kusta adalah penyakit yang harus dijauhi. Padahal, mereka para survivor memerlukan semangat dan motivasi untuk sembuh lebih besar dari orang-orang sekitar.
Sebagaimana yang kita ketahui kusta atau lepra disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae. Bakteri ini dapat menular dari satu orang ke orang lainnya melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yaitu ludah atau dahak, yang keluar saat batuk atau bersin.
Hal yang harus digarisbawahi adalah, seseorang dapat tertular kusta jika mengalami kontak dengan penderita dalam waktu yang lama. Seseorang tidak akan tertular kusta hanya karena bersalaman, duduk bersama, atau bahkan berhubungan seksual dengan penderita. Kusta juga tidak ditularkan dari ibu ke janin yang dikandungnya.
Dalam rangka memperingati hari kusta sedunia di akhir Januari, Ruang Publik KBR berkolaborasi dengan NLR mengadakan webinar dengan tema “Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!” pada tanggal 26 Januari 2021. Saya bersama teman-teman blogger lainnya dari #1Minggu1Cerita menyimak dengan antusias webinar dengan tema yang menarik ini. Webinar ini bertujuan supaya stigma yang melekat di masyarakat tentang penyakit kusta yang diidentikkan dengan penyakit yang menular yang menakutkan menjadi tidak menakutkan lagi. Selain itu, mencegah supaya penularan kusta bisa ditekan dan orang dengan penyakit kusta tidak menutup dari dunia luar dan tidak minder kembali.
Terdapat dua narasumber yang mengisi pada webinar tema “Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!”, yaitu dr. Astri Ferdiana selaku Technical Advisor NLR Indonesia dan Al Qadril sebagai orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) dan wakil ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional.
Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!
Di awal pembukaan oleh moderator Ruang Publik disampaikan bahwa Indonesia berada pada peringkat ketiga tertinggi jumlah penderita kusta. Peringkat yang membuat kita merasa sedih, karena stigma tentang penyakit kusta yang ada kita masih perlu mengedukasi masyarakat mengenai pencegahan dan pengobatan penyakit kusta. Tanpa adanya dukungan dari masyarakat sekitar, penderita penyakit kusta akan lebih lama sembuh dan berpotensi menularkan kepada yang lainnya.
Al Qadri menyampaikan, “Hal yang paling menyakitkan bagi saya adalah bukan sakit kustanya, tetapi diskriminasi oleh masyarakat”.
Sebagai OYPMK, Al Qadri merasakan bagaimana sakitnya didiskriminasi sebab penyakit kustanya. Ia pertama kali merasakan gejala kusta saat berusia 6 tahun, di mana pada saat itu dirinya baru masuk di sekolah dasar. Gejala yang dirasakan adalah bintik merah pada salah satu bagian tubuhnya yang mati rasa jika dipegang bahkan dicubit oleh temannya saat itu. Salah satu orang tua temannya mengetahui bahwa itu adalah tanda dari penyakit kusta, maka Al Qadri kecil saat itu terpaksa menahan diri untuk tidak bersekolah formal seperti teman-temannya yang lain. Ia melanjutkan pendidikan bersama survivor lainnya termasuk belajar baca, tulis, dan hitung. Kini, ia bersama keluarganya hidup seperti yang lainnya, istrinya yang merupakan OYPMK juga telah melahirkan dua orang anak yang sehat bahkan saat ini sudah dewasa dan tidak tertular kusta.
Saat webinar berlangsung, ada salah satu peserta yang bertanya bagaimana cara pencegahan kusta pada anak-anak? Apakah bisa dicegah?
Menurut dr. Astri Ferdiana, upaya pencegahan penyakit kusta pada anak-anak adalah dengan mendeteksi apakah di keluarga ada anggota yang menderita kusta, jika ada maka harus selesaikan pengobatan hingga tuntas. Kemudian upaya pencegahan lainnya adalah dengan minum obat pencegahan pada anak-anak, lalu anak di atas usia 15 tahun, dan dosis dewasa.
Penyakit kusta ini, menurut dr. Astri merupakan penyakit yang menular tetapi tidak mudah ditularkan. Mengapa? Dari 100 orang dalam suatu perkumpulan dengan seorang yg mengalami penyakit kusta, ucap dr. Astri, kemungkinan akan menularkan penyakit kusta hanya kepada dua orang di forum tersebut, itupun hanya jika kedua orang tersebut yang imun tubuhnya sedang tidak bagus.
Pesan untuk Masyarakat
Lebih lanjut lagi dr. Astri berpesan bagi kita masyarakat, para survivor kusta, serta pendamping supaya tidak abai pada gejala awal penyakit kusta yang ditandai dengan bercak merah atau putih yang kebas atau mati rasa. Jika sudah terdeteksi maka segera lakukan pengobatan, kusta yang tidak terdeteksi lebih awal maka akan mengakibatkan deformitas, atau kelainan anatomi tubuh atau kecacatan pada bagian tubuh. Kusta bisa sembuh dan tuntas, maka masyarakat dan pendamping harus memberikan motivasi para survivor kusta untuk membuka diri dan senantiasa bersabar dalam melakukan pengobatan hingga selesai.
Stigma yang sudah melekat bertahun-tahun di benak masyarakat tentang kusta harus dihapuskan dan mulai membuka lembaran baru untuk hidup berdampingan dengan survivor untuk kualitas hidup yang lebih baik dan agar tidak ada lagi diskriminasi di antara masyarakat.
Semoga sharing kali ini bermanfaat untuk kita semua supaya menghapuskan diskriminasi terhadap sesama manusia, sembuhkan sakitnya, rangkul survivor nya. Besar harapan kita supaya Indonesia terbebas dari penyakit kusta dan memberikan support serta penghidupan yang sebagaimana lainnya bagi para survivor. Lapangan pekerjaan serta kemudahan akses bagi para OYPMK sama seperti masyarakat yang lain, tanpa diskriminasi.
Semoga yang saat ini sedang berjuang atas sakitnya, Allah berikan kesabaran dan kesembuhan dengan tuntas.. Aamiin ya Rabb! Semangat!
Salam hangat,