Ibu kita Kartini..
Putri sejati..
Putri Indonesia..
Harum namanya..
Sering sekali kita memainkan lagu ini. Entah sekedar iseng atau hanya tugas dari sekolah untuk memainkan berbagai alat musik, terutama pianika dan suling.
Kartini, wanita pendobrak kebiasaan masyarakat pada zamannya yang hanya mengurung wanita di rumah. Tak boleh sekolah terlalu tinggi. Lulus sekolah dasar, lantas sudah dijodohkan. Proses penjagaan katanya. Kartini dahulu beruntung masih sempat sekolah, Kartini kita sekarang? Jangankan banyak yang tidak sekolah, yang sekolah pun bahkan duduk di bangku Taman Kanak-Kanak sudah diracuni masa depannya (red: kasus pelecehan seksual). Oh Kartini masa kini.
Baiklah kita lihat positifnya. Mungkin salah satunya berkat Kartini jugalah saya yang seorang wanita dapat bersekolah tinggi. Wanita karir sudah berada dimana-mana. Berkat Kartini pula wanita dihargai, di zaman modern ini. Namun, tak tahukah kita? Jauh sebelum Kartini lahir, jauh sebelum Indonesia ini ada, sudah ada wanita-wanita tangguh sejak zaman dahulu. Bagaimana tentang Bunda Khadijah yang menyerahkan seluruh hartanya untuk dakwah Nabi, Sumayyah? Syahidah pertama, lalu tentang Bunda Aisyah yang cerdas menghafal ribuan hadist, juga tentang Asma yang mengorbankan semua anaknya dalam jihad. Wanita sejak dahulu sudah mulia, Islam yang memuliakannya.
Jadi? Aku sulit untuk menemukan benang merah semuanya pada catatan kecil ini. Hehe. Maklumlah PAPB (Penulis Amatiran Pake Banget).
Teringat Ibu yang baru tadi pagi kuciumi tangannya, jika disandingkan dengan Kartini, tentulah ibuku melebihi sosok Kartini itu. Ia begitu mulia. Begitu harum namanya, di sudut hati ini.
Ini bukan hari Kartini, tapi hari wanita Indonesia. (Tentunya juga hari dimana anak sekolah dasar memakai baju adat)